Tanduk Raja Slot
ini di sana. Kau bisa segera menumpang pesawat komersial apapun, tidak akan ada yang menghalangi kau melewati pintu imigrasi, kami akan membiarkan kau tiba dengan aman di HongKong. ”Sayangnya, tidak ada yang boleh menemanimu, Thomas. Datanglah sendirian. Kau tidak perlu mengajak gadis wartawan ituke sini. Hingga urusan kita selesai, dia aman di Jakarta. Setelahitu, tergantung pertemuan kita, apakah dia akan dimasukkan kepenjara atau kami membuatnya menghilang begitu saja. Sekalilagi, Thomas, sekali kami melihat kau membawa orang lain,siapa pun itu, pertemuan batal, dan kau tahu risikonya. Tidakada lagi percakapan hingga kau tiba di pelabuhan kontainerHong Kong.” Percakapan diputus dari seberang sana. Aku mendengus menahan marah, tidak sempat bertanya lebih detail tentang pertemuan itu. Menghela napas panjang, berusaha mengendalikan emosi. Persis seperti yang kuduga. Mereka ”mengundangku” menyelesaikan masalah ini. Berharap, sekali tepuk semua urusan selesaihingga ke akar-akarnya. Aku menyisir rambut dengan jemari.Tentu saja mereka akan memilih Hong Kong sebagai lokasi pertemuan. Shinpei, otak dari seluruh mafia hukum berada di sana.Dia juga sekaligus orang yang menjebakku dengan seratus kilogram bubuk heroin dan senjata itu. Jenderal bintang tiga ituhanya ”petugas lapangan” dalam permainan ini. Dia yang diperintah Shinpei menyelesaikan masalah Om Liem. Diperintahkan untuk membajak konvoi mobil tahanan Om Liem, membawa Om Liem ke Hong Kong, sekaligus memaksaku datang. Aku tahu, pergi ke sana sama saja dengan mendatangi sarang 302mafia. Shinpei jelas bukan hanya orang di belakang seluruhmafia hukum di negeri ini. Dia sekaligus anggota mafia duniahitam di Hong Kong. Tidak semua orang bisa menyediakan seratus kilogram bubuk heroin, meletakkan persenjataan lengkap.Aku mengepalkan tinju, tapi aku tidak punya pilihan, merekasudah memberikan deadline, dengan ancaman serius yang menyertainya. Ini gila, benar-benar situasi gila yang harus kuhadapi. ”Aku harus segera pergi!” Aku menoleh ke arah Maryam,Maggie, dan Kris yang sejak tadi menatapku, menunggu hasilpembicaraan. Wajah mereka bertiga terlihat tegang. Maryam berdiri, mengangguk. ”Tidak. Kali ini kau terpaksa tinggal, Maryam. Mereka hanyamemintaku datang sendiri. Kau bisa menunggu di kantor Krishingga besok siang.” Aku mengabaikan wajah tidak mengerti Maryam, menoleh kearah Maggie. ”Setelah aku pergi, kau segera hubungi Tante Liem,Meg. Segera bawa beliau ke sini, menunggu bersama Maryam.Kalian semua aman sementara waktu di sini. Aku harus melakukan semua ini sendirian.” ”Kau tidak nekat akan mendatangi mereka sendirian, Thomas?” Maryam berseru, bertanya sambil mencengkeram lenganku. Aku mengangguk. ”Itu sama saja bunuh diri, Thomas!” Maryam berkata dengansuara serak. Wajahnya tegang sekali, bahkan dia hampir menangis karena perasaan tegang. ”Aku akan mencari cara agar hal itu tidak terjadi, Maryam.Nah, sekarang dengarkan aku, Maryam.” Aku memegang tanganMaryam, menatapnya. ”Aku tidak punya waktu banyak untuk 303menjelaskan, jadi kaudengarkan baik-baik. Mereka memintakusegera pergi ke Hong Kong, tempat Om Liem ditahan. Merekahanya memberi waktu enam jam. Itu berarti sebelum pukulenam pagi. Jika besok sore tidak ada kabar dariku, aku tidakmenghubungi, berarti hal buruk telah terjadi di Hong Kong.Kauajak Tante Liem pergi ke sekolah berasrama, temui Opa danKadek di sana. Bilang kepada Opa, semua sudah berakhir diHong Kong. Aku, Om Liem, tidak ada lagi kabar beritanya.” Maryam berseru cemas. ”Dengarkan aku baik-baik, Maryam, dengarkan aku dulu.”Aku memegang tangan Maryam erat-erat, menyuruhnya konsentrasi. ”Setiba di sekolah berasrama, bilang kepada Opa agar kalian segera mengemasi barang, bawa seperlunya, tinggalkan yanglain. Kalian berempat pindah ke negara lain, menetap di sana,gunakan identitas baru, nama baru, putuskan semua kontak dengan kenalan, kerabat, teman. Dengan demikian semoga merekakesulitan mengejar kalian, karena jelas mereka akan buas mengejar kalian ke mana pun. Aku minta maaf telah melibatkanmudalam semua kekacauan ini, Maryam. Aku telah merusak karier,masa depan, kehidupan, semua hal berharga yang kaumiliki. Akusungguh minta maaf.” Maryam sekarang menangis, menatapku tidak percaya. Aku melepaskan genggaman tanganku padanya, menoleh kearah Maggie. ”Sekarang pukul dua belas, waktuku hanya enamjam. Kau bisa bantu belikan aku tiket penerbangan ke HongKong, Meg, pukul satu dini hari nanti ada jadwal penerbangansalah satu maskapai ke sana. Semoga aku masih bisa mengejarnya ke bandara. Kaukirim tiketnya via e-mail.” Aku menghela napas pelan. Lihatlah, mereka bahkan meren 304canakan ini dengan matang. Mereka tahu persis aku harus mengejar jadwal penerbangan itu, satu-satunya penerbangan yangtersisa. Maggie mengangguk, tidak banyak bicara. Meskipun Maggietidak menangis seperti Maryam, aku bisa merasakan seluruhemosi yang dia rasakan. Marah, bingung, sedih, cemas, semuabercampur aduk dari tatapan matanya. ”Terima kasih sudah membantuku selama enam tahun terakhir, Meg. Kau adalah staf paling membanggakan yang pernahkumiliki. Jika besok sore tidak ada kabar dariku, kaukumpulkansemua konsultan senior untuk melakukan pertemuan. Biarkanmereka yang memutuskan nasib perusahaan ini tanpa dirikulagi. Kau aman. Mereka tidak akan mengejarmu. Nah, kalau kaumau, kau juga bisa pindah bekerja di tempat lain, Meg. Sebagaibonus pemutusan hubungan kerja, kau boleh menjual satu ataudua mobil operasional kantor. Uangnya bisa kaugunakan untukjalan-jalan ke Paris, Roma, seperti yang kaucita-citakan selamaini.” Aku mencoba bergurau. ”Kau akan kembali, Thom.” Suara Maggie serak, matanya memerah. ”Kau selalu kembali ke kantor ini. Sesulit apa pun masalah yang kauhadapi. Aku akan selalu menunggu di ruangankerjaku, menunggu kau melintas pintu ruangan, selalu tertawamenatapku, tawa yang amat kukenal.” Aku tersenyum penuh penghargaan. Selain tabiatnya yangselalu berterus terang, ceplas-ceplos, dan suara cemprengnyayang menyebalkan, Maggie adalah teman terbaik yang kumiliki.Dia tidak pernah putus harapan kepadaku. Tidak pernah.Maggie selalu yakin aku bisa melakukan apa pun. Aku menoleh ke arah Kris. ”Sesuai perjanjian kita, kantor ini 305adalah milikmu, Kris. Jadi jika aku tidak kembali dari menghajarpara bedebah itu, kau berhak penuh memutuskan apa yang akankaulakukan dengan kantor dan stafmu. Saranku, tidak semuaorang nyaman berinteraksi dengan orang yang jarang mandi.Mungkin sudah saatnya kau sedikit memikirkan tentang penampilan diri sendiri.” Aku tertawa, menepuk bahunya. Kris ikut tertawa—meski nadanya suram dan prihatin. ”Aku merasa terhormat pernah bekerja denganmu, Thomas.”Kris mengulurkan tangan. ”Kau satu-satunya orang yang tidakpernah bertanya kenapa beberapa tahun lalu aku meretas jaringan retailer jahat Singapura itu. Kau memercayaiku bahkanpada detik pertama kita berkenalan.” Aku mengangguk. Penjelasan selalu datang dari orang yangtepat, waktu yang tepat. Aku tidak pernah merasa perlu memaksa Kris menjelaskan soal itu. ”Nah, saatnya berpamitan. Selamat malam, Maryam, Maggie,Kris. Semoga yang terbaik yang akan terjadi beberapa jam kedepan.” Dan sebelum Maryam berseru kencang berusaha mencegahku, atau Maggie mengatakan sesuatu, atau Kris balas mengucapkan salam berpamitan, aku sudah balik kanan, melangkahcepat meninggalkan ruangan besar dengan enam layar komputercanggih. Saatnya menuju arena pertarungan yang aku tunggusejak dua puluh tahun lalu. Saatnya aku memasuki lingkaran merah selebar dua meter didunia nyata—bukan arena klub. Aku petarung sejati. Aku tidakakan pernah mundur selangkah, sebesar apa pun kekuatan lawan. Demi kehormatan, demi abu hitam papa-mamaku. 306Episode 29 Mengungkit Masa LaluAKU memacu mobilku keluar dari parkiran kantor. Pukul00.05, jalanan kota Jakarta sepi. Speedometer mobil menyentuhangka 150 km/jam, melesat di atas jalan bebas hambatan, menujubandara. Mataku konsentrasi penuh. Kedua tanganku mencengkeram kemudi erat-erat. Aku tiba di lobi keberangkatan internasional lima belas menitkemudian, memarkir mobil sembarangan, meloncat turun, berlarimenuju pintu masuk. Mengabaikan petugas sekuriti yang meneriakiku agar memindahkan mobil. Astaga, aku tidak punyawaktu untuk melakukannya. Silakan saja kalau dia hendak menderek paksa mobil itu. Maggie sudah mengirimkan e-mail berisitiket pesawat. Aku membuka e-mail tersebut sambil berlari menuju loket check-in. Sejauh ini tidak ada masalah. Dua petugastetap menerima tiketku meski tenggat check-in sudah lewat beberapa menit. Juga tidak ada masalah di gerbang imigrasi. Petugas memerika surat jalan sementara yang kumiliki, tanpa ba 307nyak bicara menstempel dokumen perjalanan, mempersilakankumelintas menuju ruang tunggu keberangkatan internasional. Mereka memegang janji, tidak ada pasukan khusus, tidak adapolisi, atau petugas apa pun yang dikirim untuk menghambatku.Aku lancar menaiki pesawat terbang. Pesawat komersial berbadan besar itu penuh, entah bagaimana Maggie mendapatkanselembar tiket di menit terakhir. Aku bisa duduk di kelas eksekutif seperti biasa. Pramugari ramah menyapa namaku, menawarkan welcome drink. Aku menggeleng. Dalam situasi sepertiini, aku tidak haus dan lapar. Perjalanan Jakarta-Hong Kong membutuhkan waktu tempuhempat jam. Pukul 01.00 tepat, pesawat itu lepas landas, melesatterbang. Dari jendela pesawat sebelah kursiku, gemerlap cahayakota Jakarta terlihat indah, tidak peduli berapa kali pernah melihatnya, itu tetap pemandangan yang menakjubkan, tapi akumenatapnya kosong. Di kepalaku justru hadir kenangan masa lalu itu. Papa Edward dan Om Liem pebisnis yang baik. Mereka memiliki garis tangan yang hebat. Umur mereka baru dua puluh tahun saat mengambil alih toko tepung terigu dari Opa. Saat itu,Papa Edward dan Om